BELASUNGKAWA WS RENDRA (1935-2009)PENYAIR terkenal yang cukup disanjungi di rantau Asia ini adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, dan juga tokoh dramatis tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya.Dilahirkan Willibrordus Surendra Broto Rendra pada tanggal 7 November, November 1935 di Solo, Indonesia, Allahyarham menukar namanya kepada Wahyu Sulaeman Rendra sejurus selepas dia memeluk agama Islam.Penyair ternama ini kerap diberi nama jolokan "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Semenjak masa kuliah beliau sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah.PENDIDIKANRendra mendapat pendidikan di TK Marsudirini, Yayasan Kanisius, SD s/d SMU Katolik, St. Yosef, Solo dan tamat pada tahun 1955. Rendra juga mengikuti jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta namun tidak tamat. Rendra mendapat biasiswa American Academy of Dramatical Art (1964 - 1967).KEHIDUPAN RENDRA dan JOLOKAN NAMA 'BURUNG MERAK' Rendra temui cinta pertamanya pada usia 24 tahun bila bertemu Sunarti Suwandi. Beliau telah berkahwin dengan Sunarti pada 31 Mac 1959 dan mendapat lima orang anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta.Salah seorang dari anak muridnya ialah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia berkhidmat untuk Rendra sekeluarga walaupun sibuk di Bengkel Teater. Antara tugas khas Jeng Sito (panggilan Rendra kepadanya), menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.Namun di akhir keintiman itu dengan ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi isteri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesihatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra.Namun halangan terbesar datangnya dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra.Bagi seorang yang pernah menulis serta berdakwah pasal Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, Rendra memilih untuk mengucapkan dua kalimah syahadah pada hari perkahwinannya dengan Sito pada 12 Ogos 1970, dengan disaksikan oleh Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.Setelah menjadi muslim namanya ditukar menjadi Wahyu Sulaeman Rendra. Peristiwa itu, bagaimanapun telah mengundang pelbagai kritik dan komen sinis. Antara lain, 'Rendra masuk Islam hanya untuk poligami."Namun, Rendra membalas dengan berkata, beliau tertarik kepada Islam sudah lama terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, kerana Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya."Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil memetik sepotong ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang.Walaupun demikian, jelas sekali kehidupannya di bawah satu bumbung dengan dua isteri menyebabkan Rendra dituduh sebagai gemar populariti.Tapi semua tuduhan itu tidak meninggalkan kesan dan kudis pada Rendra. Satu ketika, saat Rendra menjamu seorang kenalannya dari Australia di Kebun binatang Gembira Loka, Yogyakarta, dia terlihat seekor burung merak berjalan bersama dua ekor burung betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini.Perkahwinan Rendra dengan Sito memperolehi empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati.Seperti Sang Burung Merak yang kembali mengibaskan keindahan sayapnya, Rendra tidak dapat jauh dari hubungan romantika seterusnya. Tidak berapa lama kemudian, Rendra menyunting Ken Zuraida, isteri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba.Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.RENDRA SEBAGAI SASTERAWANSajak-sajak Rendra mampu membuat sesiapa saja terpukul dengan mesej yang ingin disampaikan. Baik penuntut, teman penyair mahupun ahli politik, suara Rendra di dalam puisi-puisinya adalah tajam, bisa dan berjiwa.Antara sajak yang terkenal ialah:Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak), Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta, Blues untuk Bonnie, Empat Kumpulan Sajak, Jangan Takut Ibu, Mencari Bapak, Nyanyian Angsa, Pamphleten van een Dichter, Perjuangan Suku Naga, Pesan Pencopet kepada Pacarnya, Potret Pembangunan Dalam Puisi, Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan) Rick dari Corona, Rumpun Alang-alang, Sajak Potret Keluarga, Sajak Rajawali, Sajak Seonggok Jagung, Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api, State of Emergency dan Surat Cinta1.DRAMA RENDRASehebat puisinya, Rendra juga terkenal dengan drama sinisnya seperti:Orang-orang di Tikungan Jalan (1954), Bip Bop Rambaterata (Teater Mini Kata) SEKDA (1977), Selamatan Anak Cucu Sulaiman (dimainkan 2 kali), Mastodon dan Burung Kondor (1972), Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)- dimainkan dua kali, Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama), Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex"), Lisistrata (terjemahan) Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan dari karya Sophokles, Antigone (terjemahan dari karya Sophokles, Kasidah Barzanji (dimainkan dua kali), Perang Troya Tidak Akan Meletus (terjemahan dari karya Jean Giraudoux asli dalam bahasa Prancis: "La Guerre de Troie n'aura pas lieu") Panembahan Reso (1986) dan Kisah Perjuangan Suku Naga (dimainkan 2 kali).PENGHARGAANHadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954) Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956) Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970) Hadiah Akademi Jakarta (1975) Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976) Penghargaan Adam Malik (1989) The S.E.A. Write Award (1996) Penghargaan Achmad Bakri (2006).PENELITIAN KARYA RENDRAProfesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang besar perhatiannya terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul “A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974”.Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul Rendras Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977.MAKAM RENDRA DI BAWAH POHON RENDANGLiang lahat untuk makam budayawan WS Rendra sudah selesai dibuat. Rencananya jenazah penyair yang dijuluki "Si Burung Merak" ini akan dimakamkan sesudah solat Jumaat, 7 Ogos. Di atas liang lahat yang berada di belakang Bengkel Teater ini, sudah berdiri tenda berukuran 3 x 10 meter.Di belakang Bengkel Teater, sudah ada 6 makam termasuk makam Mbah Surip. Makam WS Rendra berada di atas 6 makam lain yang letaknya sejajar."Tempatnya memang sudah dipersiapkan sejak lama. Rendra juga minta dimakamkan di bawah pohon rendang," kata adik ipar WS Rendra, Iwan Burnani, dipetik berkata.Tempat pemakaman sekira 100 meter persegi tersebut memang dipersiapkan sebelumnya dan sejumlah seniman dan aktivis dimakamkan di tempat tersebut, seperti Roedjito (seniman teater Artistik), Arie Mocoi, Indra Kesuma Budenani, Ria Rumondang Pardede, Semsar Siahaan (pelukis dan perupa), dan Mbah Surip."Ini bukan makam keluarga, siapa saja boleh kalau mendapat persetujuan keluarga," katanya.'SAYA SANGAT BAHAGIA...' KATA ARWAH RENDRASebelum meninggal, WS Rendra sempat mengucapkan kata terakhir kepada istrinya, Ken Zuraida."Saya sangat bahagia.." Itu kata terakhir Mas Willy (panggilan Rendra)," ujar Ken seusai pemakaman Rendra di Bengkel Teater, Citayam, Depok, Jawa Barat, Jumaat lalu.Kata-kata itu diucapkan Rendra sekitar pukul 10 malam. Setelah itu, menurut Ken, tangan Rendra terasa dingin dan gementar. Padahal, sebelumnya, Rendra sangat ceria dan bercerita banyak di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Depok, tempat penyair itu dirawat."Ia bercerita satu jam lebih, seperti tak bisa dihentikan. Itulah kata-kata terakhirnya, ia sangat bahagia," kata Ken dalam sendu dan tangis.Sastrawan Danarto yang sempat mejenguk Rendra saat dirawat di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta, juga menangkap semangat hidup Rendra yang kuat."Saya bawakan dia buah kesukaannya, strawberi dan anggur. Dia memberitahu saya, dua kali dia didatangi almarhum Mbak Narti (Sunarti, istri Rendra). Ia bilang, 'Kelihatannya ajal sudah dekat'."Setelah solat Jumat sekitar pukul 2.30 petang, jenazah Rendra dikebumikan di bahagian belakang kawasan Bengkel Teater. Makam Rendra berjarak sekitar 10 meter dari makam Mbah Surip yang dikebumikan tiga hari sebelumnya atas izin Rendra. Pemakaman berlangsung hingga sore, sekitar pukul 16.00.Sementara itu, untuk menghantar kepergian Rendra, jemaah di Banda Aceh mengadakan solat ghaib di Masjid Baiturrahman."Semua masjid di Banda Aceh diimbau agar melaksanakan solat ghaib untuk Mas Willy (Rendra)," kata penggiat seni Arie Batubara dari Banda Aceh.Ramainya tamu memberi penghormatan terakhir menyebabkan jalan menjadi sesak di sepanjang jalan Citayam-Cipayung selama beberapa jam. Beberapa peziarah harus berjalan kaki sekitar 500 meter dalam suasana panas terik menuju lokasi pemakaman.